Rabu, 18 April 2012

Heri , petani tanaman hias Depok.by hasnan habib kota depok

Masih ingat bencana situ gintung beberapa tahun lalu? Kita lihat betapa dahsyatnya kerusakan yang diakibatkan dari pembangunan yang hanya mengedepankan aspek ekonomis tanpa memperhatikan aspek ekologisnya. Gencarnya pembangunan di sekitar kawasan Situ Gintung telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan situ tersebut dalam menampung resapan air dari daerah di sekelilingnya. Jika situ yang merupakan wadah penampungan dan resapan air itu berubah fungsi, menyempit dan bahkan tergusur untuk dijadikan perumahan, maka berbagai bencana pun akan semakin dekat menghampiri, salah satunya adalah banjir. Falsapah Hidup Prihatin melihat areal sempadan (batas) situ atau danau di Pengasinan, Sawangan, Depok yang dibiarkan menganggur dan ditumbuhi semak belukar, Heri Syaefudin (42) pun terpanggil untuk menata dan memanfaatkan situ tersebut sebagai kawasan agrowisata berbasis tanaman hias yang dapat meningkatkan penghasilan bagi warga sekitarnya. “Awalnya kita memang punya falsafah ’melanjutkan hidup dengan melestarikan tempat hidupnya’. Jika tempat hidup kita nggak benar, kehidupan kita juga jadi nggak benar. Itulah titik fokus perjuangan kita,” tegas Heri. Pria lulusan Akademi Pertamanan di Lenteng Agung Jakarta ini merasa bahwa sebagai desainer landscape (penata taman), ia harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang didesainnya agar dapat terus berkelanjutan, baik secara ekologi maupun pelestarian lingkungan. ”Saya melihat setiap jengkal tanah itu ada nilai-nilai ekologinya, sekarang ini kan kita terjebak pada aspek ekonomi saja, sementara aspek pelestarian lingkungannya diabaikan,” kata Heri, ”kalau jadi bencana apa artinya raihan-raihan target ekonomi itu jika kemudian daya dukungnya tidak memenuhi syarat.” Selain itu, Heri juga mengaitkan kecintaannya kepada alam dengan Tuhan. ”Konsepnya begini, pujilah Tuhanmu dengan karya-karya terbaikmu, memelihara alam sekitar.” Cinta Situ Sejak Masih Kuliah Suami dari Santi Widya ini mulai membeli lahan di sekitar Situ Pengasinan pada tahun 2004. Heri sendiri memiliki obsesi yang tinggi terhadap areal sempadan situ. Tak heran jika program studi akhirnya pun ia mengambil tema tentang pengelolaan sempadan situ. ”Kita melihat air itu sangat penting ya, tapi sebagai sumber kehidupan selama ini sering diabaikan sehingga berbalik menjadi sumber bencana. Nah, peran kita sebagai perencana (landscape) kan seharusnya bisa merencanakan lebih baik lagi,” kata Heri. Luas areal Situ Pengasinan sendiri kurang lebih sekitar 6 - 7 hektar, dan yang dikuasai Heri seluas hampir 6.500 m2. ”Saya dedikasikan sebagai daerah penyangga. Ini mungkin pilot poject, lebih besar lagi tentunya butuh partisipasi dari banyak teman. Kita coba bikin contoh, terlepas dari kelebihan dankekurangannya mari kita lanjutkan dan perbaiki bersama.” Secara bertahap, pemilik ”Gonku Lanscape & Nursery” ini membeli tanah di sekitar situ yang tidak terurus dan dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya. ”Belinya nyicil, dari 100 meter, 200 meter sampai kemudian ribuan meter. Pokoknya kalau ada orang yang jual dan saya ada duit saya beli,” katanya, ”dulu tanah ini kosong nggak terurus, isinya cuma pepohonan dan sampah.” Setelah itu Heri kemudian mulai menata tanahnya dan menjadikannya tidak hanya sebagai tempat tinggal, tapi juga dengan taman dan kolam-kolam ikan di depannya sebagai daerah penyangga (tangkapan air) sehingga air dan tanah yang turun tidak langsung masuk ke situ, tapi ke kolamnya terlebih dahulu. ”Saya desain (tempat tinggal) menjadi kesatuan dengan situ. Ini juga untuk eksistensi situ, sebagai daerah tangkapan air, sehingga air, sampah ataupun limbah nggak langsung masuk ke situ, tapi ke kolam ini dulu. Ini untuk menghindari sedimentasi dan pengendapan yang mengakibatkan pendangkalan situ,” jelasnya. Dulu, nasib Situ Pengasinan sendiri cukup riskan. Keberadaannya hampir tak dipedulikan sehingga nyaris hilang dan sempat akan diuruk menjadi areal pemukiman. Perusakan lingkungan di Situ Pengasinan dapat dihindari ketika pada tahun 2003 Walikota Depok (kala itu) Badrul Kamal meminta petugas Dinas Pekerjaan Umum mengeruk danau seluas 6,5 hektar itu sehingga situ itu kembali pada fungsinya. Di sekitar situ, dalam jarak 50 meter juga harus dijadikan ruang terbuka hijau dan tidak diperbolehkan ada bangunan permanen. Tahun 2003 pekerjaan itu pun dimulai. Areal yang dulunya semak belukar ditata dan dikelola sedemikian rupa hingga kemudian bisa dijadikan tempat wisata. ”Terus saya melihat kalau ini dikeruk dan nggak di-touch lagi, maka nasibnya bakal sama. Nah, mulailah kita bikin kegiatan. Kita pribadi menata sempadan,” ujarnya. Dengan kemampuan desainnya, Heri pun mengajukan penataan jalan di sekeliling situ kepada pihak Pemda Depok. ”Kalau nggak disangga seperti ini situ akan rentan rusak, dan akan jadi 1 paket bahwa daerah ini nggak terurus. Tapi kalau ada yang ngurus, wah ternyata indah ya. Yang lain akhirnya kan ngikut. Akhirnya sebelah kita mulai, tentunya dengan kemampuan masing-masing,” ungkap Heri senang. Peran Serta Masyarakat Berasal dari Kota Magelang, Jawa Tengah, Heri menamatkan pendidikannya di kota kelahirannya. Tahun 1988 ia hijrah ke Jakarta untuk kuliah di Akademi Pertamanan. Lulus tahun 1992, Heri pun bekerja di berbagai perusahaan pertamanan. ”Sebenarnya bisa lulus lebih cepat, tapi waktu itu saya praktik kerja dan garap proyek besar di istana. Kalau saya menolak, kesempatan seperti itu rasanya nggak akan datang lagi,” urainya tersenyum. Karena ketertarikannya kepada situ, Heri pun mengambil tema tugas studi akhirnya tentang pengelolaan sempadan situ. Kala itu yang menjadi obyek penelitiannya adalah Situ Lio yang juga berada di wilayah Kota Depok. Menurut Heri, pada waktu itu luas Situ Lio masih sekitar 23 hektar, dan 18 tahun kemudian (2010) menyusut menjadi hanya tinggal 12 hektar. ”Ada pengurukan dan kesadaran masyarakat akan perlunya situ itu belum tersosialisasikan dengan baik. Jadi bukan sekadar lahannya, tapi cara berpikir masyarakat yang butuh pencerahan bahwa daerah penyangga itu penting,” tegas Heri yang sudah tinggal di Depok semenjak masih kuliah ini. Setelah bekerja di beberapa perusahaan di bidang pertamanan, tahun 1998 Heri mencoba berwiraswasta. Bidangnya tetap sama, landscape dan tanaman hias. Cuma kali ini Heri mencoba merangkul masyarakat dengan menjadikannya mitra usaha dengan memanfaatkan ruang terbuka hijau di sekitar situ dengan menanam tanaman hias. Ayah dari Fariz, Jasminnou, dan Midhelia ini merangkul warga Kelurahan Pengasinan yang sebelumnya bertani untuk memanfaatkan danau yang sudah terlanjur menjadi sawah dan empang. Tentu saja tidak seketika warga memenuhi ajakannya. Awalnya warga pun ragu-ragu dan ingin melihat-lihat dulu. Namun, Heri tidak putus asa dan terus bekerja hingga membuahkan hasil. Setelah melihat apa yang dilakukan Heri terbukti ada hasilnya, warga Pengasinan dan warga kelurahan lain di Sawangan ramai-ramai mengikuti ajakannya untuk bertanam tanaman hias. Saat ini ada kurang lebih 300 orang yang menjadi petani tanaman hias dan 100 lainnya menjadi pedagang yang memiliki kios di sepanjang Jalan Raya Bojongsari (Sawangan) – Ciputat. Mereka tergabung dalam 7 kelompok tani dan koperasi yang diberi nama Koperasi Maju Bersama. ”Tujuan utamanya adalah bagaimana mencarikan solusi untuk masalah pengangguran. Bagaimana membuat anak-anak muda mau bertani, kalau tanaman hias kan nggak perlu ke sawah. Selain itu juga untuk kontinuitas supply produk-produk tanaman hias yang berhubungan dengan style,” papar pemilik Gonku Lanscape & Nursery ini. Menurut Heri, modal untuk budidaya tanaman hias ini juga terbilang cukup murah. Hal ini juga menjadi solusi untuk mempertahankan daerah-daerah bukaan. “Jadi jangan mikirin aspek ekonomi aja, tapi juga ekologi. Daripada bikin kos-kosan, selain investasinya besar, keuntungan yang didapat sebenarnya minim,” kata Heri menganalisa. Melawan Arus Apa yang dilakukan Heri mungkin bagi sebagian orang dianggap aneh. Membeli tanah untuk difungsikan sebagai penjaga keseimbangan alam, dan hal ini bukanlah sesuatu yang menguntungkan secara finansial. ”Kalau kita cuma memikirkan keuntungan aja kan mendingan beli tanah aja di daerah strategis, 5 tahun juga nilainya dah meningkat. Tapi hidup kan nggak hanya sampai di situ, ada hal-hal lain yang juga harus kita perhatikan,” tandasnya. Menurut Heri, kriteria situ yang baik adalah yang terjaga dan termanfaatkan dengan baik, kemudian juga disangga dengan daerah penyangga yang baik. ”Airnya juga terkontrol bukan sebagai tempat penampungan limbah, baik rumah tangga maupun industri,” jelasnya. Ia merasa prihatin dengan banyaknya situ yang berubah fungsi ataupun disalahgunakan fungsinya, salah satunya dengan membuat jaring apung tanpa memperhitungkan jumlah luasan dengan yang diizinkan secara teknis. ”Kalau melebihi ambang batas, maka akan menimbulkan amoniak dan tumpukan sampah dari sisa-sisa pakan ikan yang mengendap. Ini juga bisa menyuburkan bakteri ekoli yang berbahaya bagi manusia,” jelasnya. Heri sadar jika warga di sekitar situ juga perlu memperoleh manfaat dari keberadaan situ. ”Masyarakat boleh memanfaatkan dari sisi ekonomis, tapi sebaiknya bukan pada badan situnya. Jadi ada batasan-batasan yang diperbolehkan, jangan sampai orang dilarang tapi yang lain diperbolehkan. Harus melalui kajian teknis, tidak boleh dengan alasan keterbatasan kemudian terus memaksakan,” usulnya. Heri sadar memberi pemahaman seperti itu tidaklah mudah dan butuh kesabaran, ”Kita mengalir aja seperti air. Kalau memang sulit, mungkin karena sewaktu kecil dia sudah memiliki kebiasaan seperti itu, ya berarti sasarannya harus kepada generasi di bawahnya.” Heri berharap apa yang dilakukannya ini bisa menggugah kesadaran semua pihak, bukan hanya masyarakat tapi juga para pengambil kebijakan. ”Tempatkan segala sesuatu di tempatnya, maka dengan begitu alam akan bersahabat dengan kita,” kata Heri berharap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar